RESUME FENOMENA GUNUNG KEMBAR, BEBAN DALAM POLA GUNUNG KEMBAR DAN KEMBALI
KE GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Fenomena Gambar
Gunung Kembar
Pola
gambar gunung kembar menjadi fenomena yang menarik sebagai bahan kajian dalam
membahas gambar karya anak-anak Indonesia. Pola ini muncul dalam gambar
anak-anak di seluruh Indonesia. Suatu penanda yang jelas terletak pada
munculnya gambar pola gunung kembar, yaitu ketika anak-anak mulai berhubungan
dengan orang lain di luar keluarganya. Terutama ketika anak-anak mulai memasuki
dunia sekolah: Taman Kanak-kanak (TK), berlanjut ke tingkat Sekolah Dasar (SD),
bahkan hingga sekolah menengah (SMP dan SMA). Ada beberapa contoh gambar-gambar
diambil dari sekolah-sekolah TK dan SD di sekitar Bali yaitu sebagai berikut :
Semua gambar direproduksi
menggunakan telesel (telefon seluler) Sony Ericsson K850i
1.
Beban dalam Pola Gunung Kembar
Sebuah
kondisi umum yang ditemukan dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung
kembar" adalah 2 bidang 'luas' yang sulit ditaklukan oleh anak-anak. Pola
gambar tersebut menyisakan dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa
melelahkan. Kesadaran bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang
amat luas, amat jauh, memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak
objek dalam dua bagian lahan tadi.
Bagi
anak-anak sekolah TK dan SD kelas rendah, kondisi itu tidak terlalu
memberatkan. Tetapi bagi anak-anak kelas 5 dan 6 SD, apalagi remaja SMP dan SMA, mereka akan dibebani oleh 'keharusan' mengisi ruang dengan
objek gambar yang "rasional". Beban inilah yang kerap dikeluhkan oleh
anak-anak dan remaja yang sejak awal hanya bisa menggambar mengikuti pola
"gunung kembar".
Anak-anak
yang pola berpikir ruangnya telah mengikuti pola pikir teori gambar perspektif,
di antaranya bisa mengatasi beberapa kendala pola gambar "gunung
kembar" itu. Namun kebanyakan anak dan remaja mengalami kesulitan karena mereka
menggunakan pola gambar perspektif burung: semua objek digambar dengan posisi
penggambar dari arah atas. Satu pola lagi yang kerap ditemukan sebagai
bentuk penaklukan ruangan perspektifis pada anak dan remaja adalah pola susun
yang biasa digunakan dalam lukisan tradisional. Objek disusun berderet ke arah
bidang atas. Objek yang jauh ditempatkan lebih di atas.
Yang
perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi
anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung
kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak
objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan
keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek,
bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek
selalu menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda
sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya.
Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan
rasio. Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja. Selain itu hal yang dapat
membebani anak-anak yaitu didapatkan dari pertanyaan-pertanyaan gurunya.
Tegalan yang luas, dalam pola gambar
"gunung kembar", menjadi beban tersendiri bagi anak-anak
yang telah 'dikuasai' pertimbangan
rasionya
Bagian lahan berair menjadi pilihan
yang dianggap 'aman' untuk mengisi ruang gambar yang luas, di samping tegalan
yang tak rimbun
Gambar jalan dalam pola gambar
"gunung kembar" seolah menjadi objek 'wajib'. Anak-anak tertentu
menggarap penggambaran gunung menjadi lebih beragam dari pola dasar yang telah
mereka dapatkan
Pola gambar perspektif burung,
penggambar berada di posisi atas, menyebabkan lahan gambar yang
semakin luas, semakin berat beban
keharusan dalam mengisi lahan luas tersebut
Objek yang dekat dengan penggambar
telah direkam secara benar (menurut rasio), sementara objek lainnya
masih diposisikan sesuai dengan
imajinasi penggambar
Petak-petak sawah dan vas bunga
menjadi sangat penting dalam gambar ini, sehingga ukurannya (secara rasio)
lebih besar daripada objek lainnya, objek rumah misalnya
Kesadaran perspektif mulai tampak
lebih dominan dalam gambar ini. Objek-objek mulai ditempatkan
'sesuai dengan posisinya'. Tetapi,
beban tegalan masih menjadi beban yang jug dominan
Meniru lingkungan, paling tidak
meniru gambar hasil karya orang dewasa, telah mengubah
bebarapa bagian gambar yang dibuat
oleh anak-anak
Pola perebahan objek gambar
mengikuti arah bidang gambar, misalnya jalan, di sini kentara sekali, terutama
dalam penggambaran kendaraan dan
sebagian pohon yang ada di pinggir jalan. Imajinasi penggambar,
dalam gambar ini, sangat dominan
dibanding rasionya
Semua gambar direproduksi menggunakan
kamera HP Sony Ericsson K850i
2.
Kembali Kegambar Gunung Kembar
Seorang mahasiswa undiksha bidang seni rupa yang telah
melaksanakan observasi disalah satu TK di Bali. Pada kegiatan ekstra
menggambar, Budiaprillia nama mahasiswa peneliti ini, menemukan bahwa anak-anak
PAUD ketika diajak menggambar kerap mengajukan pertanyaan seperti
anak tidak bisa menggambar atau semacamnya. Masalah itu dianggap sangatlah
menganggu. dia ingin mencoba mengubah pola ajar tadi dengan pola ajar lain yang
diperkirakan bisa lebih efektif memberi pangalaman yang nyaman bagi anak-anak.
Dia menemukan pola copy the master yang di dalam sejumlah sumber bacaan
telah lama digunakan di dunia kesenirupaan Timur. Sebaliknya, dalam teori
mengajar menggambar versi Barat pernah disebutkan bahwa kegiatan meniru adalah
pembiasaan buruk yang tidak mendukung ajaran kreativitas bagi siswa. Intinya,
teori pembelajaran seni rupa Barat dimotori dengan segala langkah kebebasan
berekspresi, ajaran persuasif, hingga “pengharaman” kegiatan meniru. Dan, teori
Barat itulah yang kerap dijejalkan oleh dosen mata kuliah teori pendidikan seni
rupa kepadanya. Sementara itu, metode copy the master sudah biasa juga
diterapkan dalam pembelajaran bahasa, lebih khusus dalam penulisan puisi.
Di lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis
kegiatannya, bisa melukis, mematung, membuat karya kriya, peniruan demi
peniruan terus dilakukan. Pola tersebut telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Bahkan
dalam sistem cantrik yang dibangun di sanggar-sanggar, pola copy the master,
seperti yang juga terjadi dalam dunia kesenirupaan Cina, telah banyak
melahirkan seniman-seniman dengan ciri jatidiri yang baru. Mungkin, ciri
masternya masih kental dalam karya para murid. Tetapi, lambat laun jatidiri
seniman sebagai pribadi yang berbeda dengan pribadi lainnya, tetap bisa muncul
sebagai hasil pencarian yang berkelanjutan.
Di lingkungan seni musik tari, dan teater,
begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan karena memainkan
karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak ada masalah. Tetapi
dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego Barat, murni-terap,
seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko), tetap dimunculkan
sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis dengan nonakademis.
Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding nonseniman (biasanya
disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga, tetapi tidak pernah
diekspos. Manusia adalah mahluk yang dibesarkan dan
didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan. Bahkan, dalam kehidupan awal
manusia yang sangat bergantung kepada keberadaan manusia dewasa lain, manusia
sepenuhnya dibiasakan dalam peniruan-peniruan.
Dalam kegiatan
penelitian Budiaprilliana, pembelajaran seni rupa pola dikte dibandingkan
dengan pola copy the master. Kegiatan tersebut diulang masing-masing dalam 8
kali pertemuan pembelajaran. Materi ajar disesuaikan dengan materi resmi
sekolah yang telah diatur secara kurikulum. Kelompok kontrol tetap mengikuti
pola pembelajaran dikte, sementara itu kelompok eksperimen dikondisikan dengan
pembelaran pola copy the master. Yang disebut gambar master adalah gambar yang
telah jadi yang dibuat oleh peneliti, yang dijadikan pemancing kreativitas
siswa. Gambar dengan pola dikte adalah gambar yang dibuat oleh peneliti di
papan tulis secara bertahap untuk diikuti langkah demi langkah oleh siswa.
Proses kegiatan pembelajaran dah hasil gambar dicatat
sebagai bahan analisis bandingan. Analisis yang dilakukan oleh peneliti adalah
analisis situasi pembelajaran berupa catatan perilaku siswa selama pembelajaran
dan analisis kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran dengan pola copy the
master, pada pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan situasi
yang mencolok bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte. Tetapi
pada pertemuan pembelajaran lanjutan, suasana kelas copy the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang materi
gambar maupun ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah,
lebih kaya dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa
masing-masing. Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih
“tertib, diam, dan sunyi” ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak
kurang variatif, terutama dalam hal bentuk yang digambar.
Pada pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan
perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa
untuk menggambar tanpa tema dan tanpa contoh. Hasilnya di luar perkiraan
peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang menjadi sasaran penelitian, kembali ke
gambar “konvensional” anak-anak Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung
kembar sebagai latar belakang!
Siswa pada kelompok kontrol (14 orang), 80%
di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar dan matahari
sepertiga berisi berkas sinar yang mengintip di antara dua gunung. Sisanya
menggambar tema lain yang berbeda. Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di
antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar, sisanya menggambar
tema-tema lain yang beragam. Kenyataan ini membuktikan bahwa gambar pemandangan
yang dilengkapi dengan gunung kembar sangat melekat sebagai ciri gambar yang
biasa dibuat oleh anak-anak Bali. Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan
gambar karya anak-anak Indonesia lainnya.
Gambar pola gunung kembar memang arketif
gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak berkebutuhan khusus dengan spesifikasi
retardasi mental pun menggambar menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan
anak-anak normal. Berulangkali surfing mencari gambar anak-anak di luar
Indonesia, hingga kini belum menemukan gambar dengan pola pemandangan dengan
latar gunung kembar. Hal ini semakin jelas mengindikasikan bahwa gambar pola
gunung kembar adalah ciri khas gambar anak-anak Indonesia.
Sumber :