SENI RUPA UNTUK ANAK USIA DINI

PERTEMUAN KE 15 TEORI GURU

Jumat, 16 Juni 2017

PERTEMUAN KE 15 TEORI GURU

TEORI GURU
           Menjadi seorang guru itu sangatlah sulit. Seorang guru harusnya memiliki banyak pengalaman agar dapat menghadapi berbagai macam situasi yang dihadapi seiring dengan berjalannya waktu. Suatu pembelajaran hendaknya disampaikan dengan benar berdasarkan prinsip hukum, ketentuan dan tata tertib. Diketahui bahwa pembelajaran saat kecil itu sangatlah berpengaruh besar bagi seorang anak. Ada juga pembelajaran yang bersifat memaksa yang disebut dengan doktrin. Pembelajaran saat kecil dapat memberi jejak-jejak untuk kedepannya. Pembelajaran saat kecil itu bagaikan menulis diatas sebuah batu yaitu sulit dihapus dan akan tetap tampak. Karena sudah tersimpan didalam memory jangka panjang (long threm memory). Otak berkembang dari usia 0-6 tahun. Di atas dari 6 tahun perkembangan otak mulai sulit dalam menyimpan memori dalam jangka waktu yang lama dan memori itu lebih banyak disimpan di penyimpanan jangka pendek (short threm memory).
Edward D.Bow mengembangkan pemikiran yang disebut difergen dan convergen. Difergen itu adalah otak kanan, jika seseorang yang memiliki pola otak difergen maka orang tersebut mempunyai pola pemikiran yang menyebar dan berbeda-beda. Sedangkan Convergen itu adalah otak kiri, jika seseorang cenderung menggunakan otak kiri maka orang tersebut kreatif.

Dalam pembelajaran anak usia dini itu ada yang disebut dengan permisif. Pembelajaran anak usia dini bisa dengan menggunakan pembelajaran blending learning yang artinya pembelajaran diluar kelas. Tujuan dari pembelajaran ini adalah agar anak dapat secara bebas mengeluarkan insiatif dan kreativitas mereka tanpa adanya halangan yang mengahalangi inspirasi mereka. Setiap individu itu berbeda-beda maka seorang guru harus dapat mengetahui masing-masing karakter anak yang mereka didik.  Guru juga bisa memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran, karena dengan menggunakan teknologi maka pembelajaran yang akan diajarkan akan dapat menarik perhatian anak. Selain itu penggunaan teknologi ini dapat mempermudah guru dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu, menjadi guru haruslah kreatif dan inovatif agar pembelajaran yang disampaikan menjadi lebih menyenangkan.

PERTEMUAN 14 RESUME

RESUME FENOMENA GUNUNG KEMBAR, BEBAN DALAM POLA GUNUNG KEMBAR DAN KEMBALI KE GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Fenomena Gambar Gunung Kembar
Pola gambar gunung kembar menjadi fenomena yang menarik sebagai bahan kajian dalam membahas gambar karya anak-anak Indonesia. Pola ini muncul dalam gambar anak-anak di seluruh Indonesia. Suatu penanda yang jelas terletak pada munculnya gambar pola gunung kembar, yaitu ketika anak-anak mulai berhubungan dengan orang lain di luar keluarganya. Terutama ketika anak-anak mulai memasuki dunia sekolah: Taman Kanak-kanak (TK), berlanjut ke tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan hingga sekolah menengah (SMP dan SMA). Ada beberapa contoh gambar-gambar diambil dari sekolah-sekolah TK dan SD di sekitar Bali yaitu sebagai berikut :


 







  
Semua gambar direproduksi menggunakan telesel (telefon seluler) Sony Ericsson K850i

1.      Beban dalam Pola Gunung Kembar
Sebuah kondisi umum yang ditemukan dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung kembar" adalah 2 bidang 'luas' yang sulit ditaklukan oleh anak-anak. Pola gambar tersebut menyisakan dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa melelahkan. Kesadaran bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang amat luas, amat jauh, memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak objek dalam dua bagian lahan tadi. 
Bagi anak-anak sekolah TK dan SD kelas rendah, kondisi itu tidak terlalu memberatkan. Tetapi bagi anak-anak kelas 5 dan 6 SD, apalagi remaja SMP dan SMA, mereka akan dibebani oleh 'keharusan' mengisi ruang dengan objek gambar yang "rasional". Beban inilah yang kerap dikeluhkan oleh anak-anak dan remaja yang sejak awal hanya bisa menggambar mengikuti pola "gunung kembar".
Anak-anak yang pola berpikir ruangnya telah mengikuti pola pikir teori gambar perspektif, di antaranya bisa mengatasi beberapa kendala pola gambar "gunung kembar" itu. Namun kebanyakan anak dan remaja mengalami kesulitan karena mereka menggunakan pola gambar perspektif burung: semua objek digambar dengan posisi penggambar dari arah atas. Satu pola lagi yang kerap ditemukan sebagai bentuk penaklukan ruangan perspektifis pada anak dan remaja adalah pola susun yang biasa digunakan dalam lukisan tradisional. Objek disusun berderet ke arah bidang atas. Objek yang jauh ditempatkan lebih di atas.
Yang perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek, bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek selalu menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya. Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan rasio. Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja. Selain itu hal yang dapat membebani anak-anak yaitu didapatkan dari pertanyaan-pertanyaan gurunya.


Tegalan yang luas, dalam pola gambar "gunung kembar", menjadi beban tersendiri bagi anak-anak
yang telah 'dikuasai' pertimbangan rasionya


Bagian lahan berair menjadi pilihan yang dianggap 'aman' untuk mengisi ruang gambar yang luas, di samping tegalan yang tak rimbun


Gambar jalan dalam pola gambar "gunung kembar" seolah menjadi objek 'wajib'. Anak-anak tertentu menggarap penggambaran gunung menjadi lebih beragam dari pola dasar yang telah mereka dapatkan


Pola gambar perspektif burung, penggambar berada di posisi atas, menyebabkan lahan gambar yang
semakin luas, semakin berat beban keharusan dalam mengisi lahan luas tersebut

Objek yang dekat dengan penggambar telah direkam secara benar (menurut rasio), sementara objek lainnya
masih diposisikan sesuai dengan imajinasi penggambar


Petak-petak sawah dan vas bunga menjadi sangat penting dalam gambar ini, sehingga ukurannya (secara rasio) lebih besar daripada objek lainnya, objek rumah misalnya


Kesadaran perspektif mulai tampak lebih dominan dalam gambar ini. Objek-objek mulai ditempatkan
'sesuai dengan posisinya'. Tetapi, beban tegalan masih menjadi beban yang jug dominan

Meniru lingkungan, paling tidak meniru gambar hasil karya orang dewasa, telah mengubah
bebarapa bagian gambar yang dibuat oleh anak-anak

Pola perebahan objek gambar mengikuti arah bidang gambar, misalnya jalan, di sini kentara sekali, terutama
dalam penggambaran kendaraan dan sebagian pohon yang ada di pinggir jalan. Imajinasi penggambar,
dalam gambar ini, sangat dominan dibanding rasionya
Semua gambar direproduksi menggunakan kamera HP Sony Ericsson K850i
2.      Kembali Kegambar Gunung Kembar
Seorang mahasiswa undiksha bidang seni rupa yang telah melaksanakan observasi disalah satu TK di Bali. Pada kegiatan ekstra menggambar, Budiaprillia nama mahasiswa peneliti ini, menemukan bahwa anak-anak PAUD ketika diajak menggambar kerap mengajukan pertanyaan seperti anak tidak bisa menggambar atau semacamnya. Masalah itu dianggap sangatlah menganggu. dia ingin mencoba mengubah pola ajar tadi dengan pola ajar lain yang diperkirakan bisa lebih efektif memberi pangalaman yang nyaman bagi anak-anak. Dia menemukan pola copy the master yang di dalam sejumlah sumber bacaan telah lama digunakan di dunia kesenirupaan Timur. Sebaliknya, dalam teori mengajar menggambar versi Barat pernah disebutkan bahwa kegiatan meniru adalah pembiasaan buruk yang tidak mendukung ajaran kreativitas bagi siswa. Intinya, teori pembelajaran seni rupa Barat dimotori dengan segala langkah kebebasan berekspresi, ajaran persuasif, hingga “pengharaman” kegiatan meniru. Dan, teori Barat itulah yang kerap dijejalkan oleh dosen mata kuliah teori pendidikan seni rupa kepadanya. Sementara itu, metode copy the master sudah biasa juga diterapkan dalam pembelajaran bahasa, lebih khusus dalam penulisan puisi.
Di lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis kegiatannya, bisa melukis, mematung, membuat karya kriya, peniruan demi peniruan terus dilakukan. Pola tersebut telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Bahkan dalam sistem cantrik yang dibangun di sanggar-sanggar, pola copy the master, seperti yang juga terjadi dalam dunia kesenirupaan Cina, telah banyak melahirkan seniman-seniman dengan ciri jatidiri yang baru. Mungkin, ciri masternya masih kental dalam karya para murid. Tetapi, lambat laun jatidiri seniman sebagai pribadi yang berbeda dengan pribadi lainnya, tetap bisa muncul sebagai hasil pencarian yang berkelanjutan.
Di lingkungan seni musik tari, dan teater, begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan karena memainkan karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak ada masalah. Tetapi dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego Barat, murni-terap, seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko), tetap dimunculkan sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis dengan nonakademis. Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding nonseniman (biasanya disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga, tetapi tidak pernah diekspos. Manusia adalah mahluk yang dibesarkan dan didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan. Bahkan, dalam kehidupan awal manusia yang sangat bergantung kepada keberadaan manusia dewasa lain, manusia sepenuhnya dibiasakan dalam peniruan-peniruan.
            Dalam kegiatan penelitian Budiaprilliana, pembelajaran seni rupa pola dikte dibandingkan dengan pola copy the master. Kegiatan tersebut diulang masing-masing dalam 8 kali pertemuan pembelajaran. Materi ajar disesuaikan dengan materi resmi sekolah yang telah diatur secara kurikulum. Kelompok kontrol tetap mengikuti pola pembelajaran dikte, sementara itu kelompok eksperimen dikondisikan dengan pembelaran pola copy the master. Yang disebut gambar master adalah gambar yang telah jadi yang dibuat oleh peneliti, yang dijadikan pemancing kreativitas siswa. Gambar dengan pola dikte adalah gambar yang dibuat oleh peneliti di papan tulis secara bertahap untuk diikuti langkah demi langkah oleh siswa.
Proses kegiatan pembelajaran dah hasil gambar dicatat sebagai bahan analisis bandingan. Analisis yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis situasi pembelajaran berupa catatan perilaku siswa selama pembelajaran dan analisis kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran dengan pola copy the master, pada pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan situasi yang mencolok bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte. Tetapi pada pertemuan pembelajaran lanjutan, suasana kelas copy the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang materi gambar maupun ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah, lebih kaya dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa masing-masing. Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih “tertib, diam, dan sunyi” ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak kurang variatif, terutama dalam hal bentuk yang digambar.
Pada pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk menggambar tanpa tema dan tanpa contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional” anak-anak Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!
Siswa pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang mengintip di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda. Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar, sisanya menggambar tema-tema lain yang beragam. Kenyataan ini membuktikan bahwa gambar pemandangan yang dilengkapi dengan gunung kembar sangat melekat sebagai ciri gambar yang biasa dibuat oleh anak-anak Bali. Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan gambar karya anak-anak Indonesia lainnya.
Gambar pola gunung kembar memang arketif gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak berkebutuhan khusus dengan spesifikasi retardasi mental pun menggambar menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan anak-anak normal. Berulangkali surfing mencari gambar anak-anak di luar Indonesia, hingga kini belum menemukan gambar dengan pola pemandangan dengan latar gunung kembar. Hal ini semakin jelas mengindikasikan bahwa gambar pola gunung kembar adalah ciri khas gambar anak-anak Indonesia. 

Sumber :


Sunarya.2009.” Fenomena Gambar Gunung Kembar”. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.com/search?q=fenomena+gambar+gunung+kembar. Di akses 10 Juni 2017.

Sunarya. 2010. " Beban Dalam Pola Gunung Kembar. Dalam         http://rupasenirupa.blogspot.com/search?q=beban+dalam+pola+gunung+kembar. Di akses 10 Juni 2017.

Sunarya. 2015. “Kembali ke Gambar Gunung Kembar”. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.com/2015/08/kembali-ke-gambar-gunungkembar.html. Di akses 10 Juni 2017.




PERTEMUAN 13 RESUME KURIKULUM SENI RUPA PAUD

RESUME KURIKULUM PAUD SENI RUPA
Pendidikan memiliki :
  1.  Tujuan
  2.  Negara                                    
  3.  Lembaga                                
  4. Materi ajar
  5. Kompetensi

a.         Standar Kompetensi, yaitu kerangka yang menjelaskan dasar pengembangan program pembelajaran yang terstruktur dalam pembelajaran standar kompetensi yang sudah ditentukan didalam kurikulum.
b.         Kompetensi Inti, yaitu terjemahan atau operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas atau sebagai tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan yang harus dimiliki oleh peserta didik pada setiap kelas atau program.
c.         Kompetensi Dasar, yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dicapai oleh siswa untuk menunjukksn bahwa siswa telah menguasai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Perkembangan seni rupa anak-anak ini didasarkan pada usia dan karakteristik hasil gambarnya. Pengetahuan mengenal gambar anak-anak ini melengkapi konsep child as artist. Periodisasi gambar anak-anak Viktor Lowenfeld ini lebih rinci dibandingkan dengan periodisasi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan munculnya konsep gambar anak-anak yang baru ini, pendidikan seni rupa telah mencapai konsep pendidikan yang modern, dan perkembangan-perkembangan selanjutnya hingga sekarang merupakan penyempurnaannya.
Sesuai dengan namanya (KTSP), kurikulum pendidikan seni rupa disusun oleh sekolah, yaitu oleh guru seni rupa. Untuk melaksanakan kurikulum tersebut, guru harus mengembangkan perencanaan pembelajaran dalam bentuk silabus, yang mencakup SK dan KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelalajaran, indikator, dan sistem penilaian. Tugas membuat silabus ini tidak dikenal dalam kurikulum sebelumnya, dan merupakan tantangan baru bagi guru seni rupa, karena guru harus mampu menentukan sendiri aspek-aspek dalam silabus tersebut (kecuali SK dan KD) sesuai dengan karakteristik daerahnya. Selanjutnya, sebagai kelengkapan KTSP, guru juga harus mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), yang mencakup SK dan KD, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Untuk mengembangkan perencanaan pembelajaran ini, guru harus memahami konsep-konsep pendidikan seni rupa serta pembelajaran pada umumnya yang mutakhir.
Standar kompetensi mengapresiasi seni rupa mencakup kemampuan mengidentifikasi dan menampilkan sikap apresiasi terhadap karya seni rupa. Standar kompetensi mengekspresikan diri melalui karya seni rupa mencakup kemampuan menciptakan karya seni rupa serta melaksanakan pameran seni rupa. Kemampuan-kemampuan tersebut dirumuskan menjadi sejumlah kompetensi dasar (KD) yang meliputi berbagai cabang seni rupa (seni murni dan terapan) dan cakupan wilayah (lokal/daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara).



PERTEMUAN KE 12 BAHASAN KURIKULUM PAUD SENI RUPA

KURIKULUM PAUD SENI RUPA

A. Perkembangan Pendidikan Seni Rupa
Dalam sejarah perkembangannya, pendidikan seni rupa berawal dari pelajaran yang khusus diberikan kepada kelompok tertentu, yaitu para calon seniman, misalnya di Yunani kuno. Di tempat semacam bengkel (disebut guild), para pemuda belajar melukis atau membuat patung pada seorang seniman senior melalui model pencantrikan atau magang (apprentiiceship).Dengan demikian, pendidikan seni ini bertujuan untuk menguasai keterampilan membuat karya seni rupa. Pendidikan tradisional semacam ini merupakan terjadi pada masa lampau, termasuk juga di Indonesia.
Pada abad ke-18 muncul gagasan untuk memasukkan pendidikan seni rupa, dalam hal ini pelajaran menggambar, kedalam kurikulum sekolah umum. Gagasan ini mula-mula dicetuskan oleh Emile Rousseau, dan pada tahun 1774 Johannes Bernard Basedow merealisasikannya dengan mendirikan sekolah yang disebut sekolah Philantropinum. Di sekolah ini pelajaran menggambar diberikan di samping mata pelajaran bahasa, ilmu pasti, ilmu pengetahuan alam, olah raga, musik, dan tari. Metode pengajaran yang digunakan di sini adalah metode meniru, dengan membuat bentuk-bentuk sederhana, dengan garis-garis bantu, dan bahkan sampai pada menyelesaikan gambar dengan panduan titik-titik yang telah ditentukan (disebut stimografi).Di Amerika Serikat, pelajaran menggambar baru dimasukkan ke kurikulum sekolah mulai tahun 1821, yang dilaksanakan secara besar-besaran. Namun pelajaran menggambar ini baru ditujukan untuk mendukung pendidikan teknik, terutama menggambar objek-objek geometris dengan menggunakan mistar.
Selain menggambar objek, juga diberikan pelajaran menggambar ornamen yang juga menggunakan garis-garis pertolongan dan mistar.Perkembangan pendidikan seni rupa yang penting terjadi pada akhir abad ke-19, sejalan dengan terjadinya reformasi pendidikan di berbagai negara besar seperti Jerman, Inggeris, dan Amerika Serikat. Reformasi pendidikan ini didorong oleh perkembangan psikologi tentang perkembangan anak, yang melahirkan metode-metode mengajar baru. Di Jerman, Alfred Lichtwark memunculkan upaya pembelajaran apresiasi seni bagi anak dengan mengunjungi museum-museum seni dan gereja-gereja untuk melihat karya-karya para seniman secara langsung. Konrad Lange menginginkan agar pendidikan seni rupa mengajarkan padangan-pandangan seni yang sedang berpengaruh pada waktu itu dan menegaskan bahwa pelajaran menggambar penting bagi pembentukan kepekaan estetik anak.
Lima tahun kemudian muncul buku Viktor Lowenfeld yang berjudul Creative and Mental Growth, yang menggolongkan anak-anak dalam tahap-tahap perkembangan seni rupa.
Perkembangan seni rupa anak-anak ini didasarkan pada usia dan karakteristik hasil gambarnya. Pengetahuan mengenal gambar anak-anak ini melengkapi konsep child as artist. Periodisasi gambar anak-anak Viktor Lowenfeld ini lebih rinci dibandingkan dengan periodisasi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan munculnya konsep gambar anak-anak yang baru ini, pendidikan seni rupa telah mencapai konsep pendidikan yang modern, dan perkembangan-perkembangan selanjutnya hingga sekarang merupakan penyempurnaannya.
Pendidikan seni rupa ini di Indonesia juga telah ada sejak masa lampau, terbukti dengan adanya peninggalan purbakala seperti candi-candi, seni bangun, seni lukis, dan seni hias. Para seniman tentu telah mewariskan keahliannya dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang mungkin juga menggunakan sistem magang atau pencantrikan. Pendidikan seni rupa di Indonesia ini selanjutnya mendapat pengaruh dari pendidikan seni rupa yang berasal dari dunia Barat, yang dibawa oleh bangsa Spanyol, Portugis, dan Belanda. Pada tahun 1950 di Indonesia muncul sekolah kelas satu (sekolah dasar) yang lamanya lima tahun, khususnya untuk anak-anak para pamong praja. Di samping pelajaran membaca, menulis, berhitung, menyanyi, ilmu alam, bahasa Jawa dan Melayu, sekolah ini memberikan pelajaran menggambar. Pelajaran menggambar ini pada dasarnya didasarkan pada kurikulum sekolah Belanda, dengan metode pembelajaran mencontoh, bahkan mencontoh gambar-gambar dari negeri asalnya, seperti kincir angin, bunga tulip, dan sapi perahan. Metode ini tentu saja tidak cocok untuk anak-anak Indonesia, dan untuk mengatasi ketimpangan itu, Steenderen dan Toot menulis buku Gauwen Goed, yang memberikan latihan keterampilan menggambar. Teknik menggambar ini mirip dengan metode Ferdinand dan Alexander Dupuis di Perancis, yang dimulai dengan latihan menggambar bentuk-bentuk dasar seperti garis lurus, miring, lengkung, lingkaran. Tujuan kegiatan menggambar di sini adalah untuk mendapatkan kesenangan.
Selain menggambar, di Indonesia juga telah diterapkan pelajaran seni kerajinan. Sejak tahun 1887 hingga 1889 F Graffland melakukan percobaan pengajaran kerajinan anyam di sekolah-sekolah di Ambon dan Menado. Oleh karena itu, sejak itu banyak orang Ambon mengenakan topi anyaman. Pada tahun 1904, J.H. Abendanon mendapat tugasmenyelidiki kerajinan rakyat, dan kemudian menyarankan agar sekolah rendah memberikan pelajaran menggambar dan menganyam. Selanjutnya, R. Adolf mendapat tugas dari pemerintah Hindia Belanda untuk merencanakan pelajaran kerajinan tangan di sekolah, dan sejak tahun 1926 pelajaran kerajinan tangan mulai diajarkan di sekolah guru (HIK dan Normaalschool). Beberapa tahun berikutnya para lulusan sekolah ini telah mengajarkan mata pelajaran tersebut di sekolah-sekolah.R. Adolf membagi pelajaran kerajinan tangan menjadi tiga jenis:
(1) kerajinan tangan pedagogis, yang berfungsi membantu mata pelajaran lain,
(2) kerajinan tangan social, termasuk membersihkan sekolah dan berkebun,
(3) kerajinan tangan sebagai mata pelajaran khusus yang berdiri sendiri.
Tokoh bangsa Indonesia yang merintis pendidikan seni rupa adalah Ki Hajar Dewantara dan Moh. Syafei. Mereka mendirikan sekolah sendiri, Ki Hajar Dewantoro mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta, dan Moh. Syafei mendirikan INS di Kayutaman, Sumatera Barat. Di keduasekolah tersebut telah diperhatikan pelajaran ekspresi, termasuk seni rupa. Pendidikan seni rupa, dalam pengertian pendidikan moderen,mulai dilaksanakan sejak munculnya kurikulum 1975, yang didasarkan pada konsep pendidikan melalui seniatau seni sebagai alat pendidikan.
Sesuai dengan konsep ini, pendidikan seni rupa merupakan mata pelajaran umum, yang diberikan kepada semua siswa baik di sekolah dasar hingga sekolah menengah. Pendidikan seni rupa merupakan pembaharuan kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan keterampilan.Dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, terjadi perubahan paradigma pendidikan dengan munculnya menjadi kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum tahun tahun 2004, yang masih dilaksanakan secara terbatas. Kurikulum sebelumnya merupakan kurikulum berbasis isi, dengan garis-garis besar program pengajaran (GBPP) yang berisi pokok-pokok bahasan materi pelajaran. Kurikulum berbasis kompetensi berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kurikulum 2004 kemudian disempurnakan menjadi Kurikulum 2006,yang didasarkan pada Standar Isi yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum baru ini selanjutnya dikenal sebagai kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).

B. Pendidikan Seni Rupa dalam KTSP
Bidang seni rupa, musik, tari, dan teater memiliki kekhasan sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut yang diberikan dalam pengalaman mengembangkan konsepsi,apresiasi, dan kreasi. Hal ini dilakukan dengan eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.Mata pelajaran Seni Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.      memahami konsep dan pentingnya seni budaya,
2.      menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya,
3.      menampilkan kreativitas melalui seni budaya, dan
4.      menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global.
Selanjutnya mata pelajaran Seni Budaya mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1.      Seni rupa, mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dan sebagainya
2.      Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya musik
3.      Seni tari, mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi, apresiasi terhadap gerak tari
4.      Seni teater, mencakup keterampilan olah tubuh, olah pikir, dan olah suara yang pementasannya memadukan unsur seni musik, seni tari dan seni peran.
Di antara keempat bidang seni yang ditawarkan, minimal diajarkan satu bidang seni sesuai dengan kemampuan sumberdaya manusia serta fasilitas yang tersedia di sekolah. Untuk sekolah yang mampu menyelenggarakan pembelajaran lebih dari satu bidang seni, peserta didik diberi kesempatan untuk memilih bidang seni yang akan diikutinya.Berdasarkan pendekatan, pandangan, dan tujuan tersebut, pendidikan seni dilaksanakan dalam bentuk kegiatan berekspresi (berkreasi) dan berapresiasi seni. Untuk itu, di dalam kurikulum tersebut ditetapkan dua standar kompetensi (SK) untuk bidang seni rupa, yaitu
mengapresiasi karya seni rupa dan mengekspresikan diri melalui karya seni rupa.
Standar kompetensi mengapresiasi seni rupa mencakup kemampuan mengidentifikasi dan menampilkan sikap apresiasi terhadap karya seni rupa. Standar kompetensi mengekspresikan diri melalui karya seni rupa mencakup kemampuan menciptakan karya seni rupa serta melaksanakan pameran seni rupa. Kemampuan-kemampuan tersebut dirumuskan menjadi sejumlah kompetensi dasar (KD) yang meliputi berbagai cabang seni rupa (seni murni dan terapan) dan cakupan wilayah (lokal/daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara).