KURIKULUM PAUD SENI RUPA
A.
Perkembangan Pendidikan Seni Rupa
Dalam sejarah perkembangannya,
pendidikan seni rupa berawal dari pelajaran yang khusus diberikan kepada
kelompok tertentu, yaitu para calon seniman, misalnya di Yunani kuno. Di tempat
semacam bengkel (disebut guild), para pemuda belajar melukis atau membuat
patung pada seorang seniman senior melalui model pencantrikan atau magang
(apprentiiceship).Dengan demikian, pendidikan seni ini bertujuan untuk
menguasai keterampilan membuat karya seni rupa. Pendidikan tradisional semacam
ini merupakan terjadi pada masa lampau, termasuk juga di Indonesia.
Pada abad ke-18 muncul gagasan untuk
memasukkan pendidikan seni rupa, dalam hal ini pelajaran menggambar, kedalam
kurikulum sekolah umum. Gagasan ini mula-mula dicetuskan oleh Emile Rousseau,
dan pada tahun 1774 Johannes Bernard Basedow merealisasikannya dengan
mendirikan sekolah yang disebut sekolah Philantropinum. Di sekolah ini
pelajaran menggambar diberikan di samping mata pelajaran bahasa, ilmu pasti,
ilmu pengetahuan alam, olah raga, musik, dan tari. Metode pengajaran yang
digunakan di sini adalah metode meniru, dengan membuat bentuk-bentuk sederhana,
dengan garis-garis bantu, dan bahkan sampai pada menyelesaikan gambar dengan
panduan titik-titik yang telah ditentukan (disebut stimografi).Di Amerika
Serikat, pelajaran menggambar baru dimasukkan ke kurikulum sekolah mulai tahun
1821, yang dilaksanakan secara besar-besaran. Namun pelajaran menggambar ini
baru ditujukan untuk mendukung pendidikan teknik, terutama menggambar
objek-objek geometris dengan menggunakan mistar.
Selain menggambar objek, juga
diberikan pelajaran menggambar ornamen yang juga menggunakan garis-garis
pertolongan dan mistar.Perkembangan pendidikan seni rupa yang penting terjadi
pada akhir abad ke-19, sejalan dengan terjadinya reformasi pendidikan di
berbagai negara besar seperti Jerman, Inggeris, dan Amerika Serikat. Reformasi
pendidikan ini didorong oleh perkembangan psikologi tentang perkembangan anak,
yang melahirkan metode-metode mengajar baru. Di Jerman, Alfred Lichtwark
memunculkan upaya pembelajaran apresiasi seni bagi anak dengan mengunjungi
museum-museum seni dan gereja-gereja untuk melihat karya-karya para seniman
secara langsung. Konrad Lange menginginkan agar pendidikan seni rupa
mengajarkan padangan-pandangan seni yang sedang berpengaruh pada waktu itu dan
menegaskan bahwa pelajaran menggambar penting bagi pembentukan kepekaan estetik
anak.
Lima tahun kemudian muncul buku
Viktor Lowenfeld yang berjudul Creative and Mental Growth, yang menggolongkan
anak-anak dalam tahap-tahap perkembangan seni rupa.
Perkembangan seni rupa anak-anak ini
didasarkan pada usia dan karakteristik hasil gambarnya. Pengetahuan mengenal
gambar anak-anak ini melengkapi konsep child as artist. Periodisasi gambar
anak-anak Viktor Lowenfeld ini lebih rinci dibandingkan dengan periodisasi yang
telah dibuat sebelumnya. Dengan munculnya konsep gambar anak-anak yang baru
ini, pendidikan seni rupa telah mencapai konsep pendidikan yang modern, dan perkembangan-perkembangan
selanjutnya hingga sekarang merupakan penyempurnaannya.
Pendidikan seni rupa ini di
Indonesia juga telah ada sejak masa lampau, terbukti dengan adanya peninggalan
purbakala seperti candi-candi, seni bangun, seni lukis, dan seni hias. Para seniman
tentu telah mewariskan keahliannya dari satu generasi ke generasi berikutnya,
yang mungkin juga menggunakan sistem magang atau pencantrikan. Pendidikan seni
rupa di Indonesia ini selanjutnya mendapat pengaruh dari pendidikan seni rupa
yang berasal dari dunia Barat, yang dibawa oleh bangsa Spanyol, Portugis, dan
Belanda. Pada tahun 1950 di Indonesia muncul sekolah kelas satu (sekolah dasar)
yang lamanya lima tahun, khususnya untuk anak-anak para pamong praja. Di
samping pelajaran membaca, menulis, berhitung, menyanyi, ilmu alam, bahasa Jawa
dan Melayu, sekolah ini memberikan pelajaran menggambar. Pelajaran menggambar
ini pada dasarnya didasarkan pada kurikulum sekolah Belanda, dengan metode
pembelajaran mencontoh, bahkan mencontoh gambar-gambar dari negeri asalnya,
seperti kincir angin, bunga tulip, dan sapi perahan. Metode ini tentu saja
tidak cocok untuk anak-anak Indonesia, dan untuk mengatasi ketimpangan itu,
Steenderen dan Toot menulis buku Gauwen Goed, yang memberikan latihan
keterampilan menggambar. Teknik menggambar ini mirip dengan metode Ferdinand dan
Alexander Dupuis di Perancis, yang dimulai dengan latihan menggambar
bentuk-bentuk dasar seperti garis lurus, miring, lengkung, lingkaran. Tujuan
kegiatan menggambar di sini adalah untuk mendapatkan kesenangan.
Selain menggambar, di Indonesia juga
telah diterapkan pelajaran seni kerajinan. Sejak tahun 1887 hingga 1889 F
Graffland melakukan percobaan pengajaran kerajinan anyam di sekolah-sekolah di
Ambon dan Menado. Oleh karena itu, sejak itu banyak orang Ambon mengenakan topi
anyaman. Pada tahun 1904, J.H. Abendanon mendapat tugasmenyelidiki kerajinan
rakyat, dan kemudian menyarankan agar sekolah rendah memberikan pelajaran
menggambar dan menganyam. Selanjutnya, R. Adolf mendapat tugas dari pemerintah
Hindia Belanda untuk merencanakan pelajaran kerajinan tangan di sekolah, dan
sejak tahun 1926 pelajaran kerajinan tangan mulai diajarkan di sekolah guru
(HIK dan Normaalschool). Beberapa tahun berikutnya para lulusan sekolah ini
telah mengajarkan mata pelajaran tersebut di sekolah-sekolah.R. Adolf membagi pelajaran
kerajinan tangan menjadi tiga jenis:
(1) kerajinan tangan pedagogis, yang
berfungsi membantu mata pelajaran lain,
(2) kerajinan tangan social,
termasuk membersihkan sekolah dan berkebun,
(3) kerajinan tangan sebagai mata
pelajaran khusus yang berdiri sendiri.
Tokoh bangsa Indonesia yang merintis
pendidikan seni rupa adalah Ki Hajar Dewantara dan Moh. Syafei. Mereka
mendirikan sekolah sendiri, Ki Hajar Dewantoro mendirikan sekolah Taman Siswa
di Yogyakarta, dan Moh. Syafei mendirikan INS di Kayutaman, Sumatera Barat. Di
keduasekolah tersebut telah diperhatikan pelajaran ekspresi, termasuk seni
rupa. Pendidikan seni rupa, dalam pengertian pendidikan moderen,mulai
dilaksanakan sejak munculnya kurikulum 1975, yang didasarkan pada konsep
pendidikan melalui seniatau seni sebagai alat pendidikan.
Sesuai dengan konsep ini, pendidikan
seni rupa merupakan mata pelajaran umum, yang diberikan kepada semua siswa baik
di sekolah dasar hingga sekolah menengah. Pendidikan seni rupa merupakan
pembaharuan kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan keterampilan.Dalam
perkembangan pendidikan di Indonesia, terjadi perubahan paradigma pendidikan
dengan munculnya menjadi kurikulum berbasis kompetensi atau kurikulum tahun
tahun 2004, yang masih dilaksanakan secara terbatas. Kurikulum sebelumnya
merupakan kurikulum berbasis isi, dengan garis-garis besar program pengajaran
(GBPP) yang berisi pokok-pokok bahasan materi pelajaran. Kurikulum berbasis
kompetensi berisi standar kompetensi dan kompetensi dasar. Kurikulum 2004 kemudian
disempurnakan menjadi Kurikulum 2006,yang didasarkan pada Standar Isi yang
ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum baru ini
selanjutnya dikenal sebagai kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
B.
Pendidikan Seni Rupa dalam KTSP
Bidang seni rupa, musik, tari, dan
teater memiliki kekhasan sesuai dengan kaidah keilmuan masing-masing. Dalam
pendidikan seni budaya, aktivitas berkesenian harus menampung kekhasan tersebut
yang diberikan dalam pengalaman mengembangkan konsepsi,apresiasi, dan kreasi.
Hal ini dilakukan dengan eksplorasi elemen, prinsip, proses, dan teknik
berkarya dalam konteks budaya masyarakat yang beragam.Mata pelajaran Seni
Budaya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. memahami
konsep dan pentingnya seni budaya,
2. menampilkan
sikap apresiasi terhadap seni budaya,
3. menampilkan
kreativitas melalui seni budaya, dan
4. menampilkan
peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional, maupun global.
Selanjutnya mata pelajaran Seni Budaya mencakup
aspek-aspek sebagai berikut:
1. Seni rupa,
mencakup pengetahuan, keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni
berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dan sebagainya
2. Seni musik,
mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi
karya musik
3. Seni tari,
mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan
bunyi, apresiasi terhadap gerak tari
4. Seni teater,
mencakup keterampilan olah tubuh, olah pikir, dan olah suara yang pementasannya
memadukan unsur seni musik, seni tari dan seni peran.
Di antara keempat bidang seni yang
ditawarkan, minimal diajarkan satu bidang seni sesuai dengan kemampuan
sumberdaya manusia serta fasilitas yang tersedia di sekolah. Untuk sekolah yang
mampu menyelenggarakan pembelajaran lebih dari satu bidang seni, peserta didik
diberi kesempatan untuk memilih bidang seni yang akan diikutinya.Berdasarkan
pendekatan, pandangan, dan tujuan tersebut, pendidikan seni dilaksanakan dalam
bentuk kegiatan berekspresi (berkreasi) dan berapresiasi seni. Untuk itu, di
dalam kurikulum tersebut ditetapkan dua standar kompetensi (SK) untuk bidang
seni rupa, yaitu
mengapresiasi karya seni rupa dan mengekspresikan diri
melalui karya seni rupa.
Standar kompetensi mengapresiasi
seni rupa mencakup kemampuan mengidentifikasi dan menampilkan sikap apresiasi
terhadap karya seni rupa. Standar kompetensi mengekspresikan diri melalui karya
seni rupa mencakup kemampuan menciptakan karya seni rupa serta melaksanakan
pameran seni rupa. Kemampuan-kemampuan tersebut dirumuskan menjadi sejumlah
kompetensi dasar (KD) yang meliputi berbagai cabang seni rupa (seni murni dan
terapan) dan cakupan wilayah (lokal/daerah setempat, Nusantara, dan mancanegara).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar