SENI RUPA UNTUK ANAK USIA DINI

PERTEMUAN KE 15 TEORI GURU

Jumat, 16 Juni 2017

PERTEMUAN 14 RESUME

RESUME FENOMENA GUNUNG KEMBAR, BEBAN DALAM POLA GUNUNG KEMBAR DAN KEMBALI KE GAMBAR GUNUNG KEMBAR
Fenomena Gambar Gunung Kembar
Pola gambar gunung kembar menjadi fenomena yang menarik sebagai bahan kajian dalam membahas gambar karya anak-anak Indonesia. Pola ini muncul dalam gambar anak-anak di seluruh Indonesia. Suatu penanda yang jelas terletak pada munculnya gambar pola gunung kembar, yaitu ketika anak-anak mulai berhubungan dengan orang lain di luar keluarganya. Terutama ketika anak-anak mulai memasuki dunia sekolah: Taman Kanak-kanak (TK), berlanjut ke tingkat Sekolah Dasar (SD), bahkan hingga sekolah menengah (SMP dan SMA). Ada beberapa contoh gambar-gambar diambil dari sekolah-sekolah TK dan SD di sekitar Bali yaitu sebagai berikut :


 







  
Semua gambar direproduksi menggunakan telesel (telefon seluler) Sony Ericsson K850i

1.      Beban dalam Pola Gunung Kembar
Sebuah kondisi umum yang ditemukan dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung kembar" adalah 2 bidang 'luas' yang sulit ditaklukan oleh anak-anak. Pola gambar tersebut menyisakan dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa melelahkan. Kesadaran bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang amat luas, amat jauh, memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak objek dalam dua bagian lahan tadi. 
Bagi anak-anak sekolah TK dan SD kelas rendah, kondisi itu tidak terlalu memberatkan. Tetapi bagi anak-anak kelas 5 dan 6 SD, apalagi remaja SMP dan SMA, mereka akan dibebani oleh 'keharusan' mengisi ruang dengan objek gambar yang "rasional". Beban inilah yang kerap dikeluhkan oleh anak-anak dan remaja yang sejak awal hanya bisa menggambar mengikuti pola "gunung kembar".
Anak-anak yang pola berpikir ruangnya telah mengikuti pola pikir teori gambar perspektif, di antaranya bisa mengatasi beberapa kendala pola gambar "gunung kembar" itu. Namun kebanyakan anak dan remaja mengalami kesulitan karena mereka menggunakan pola gambar perspektif burung: semua objek digambar dengan posisi penggambar dari arah atas. Satu pola lagi yang kerap ditemukan sebagai bentuk penaklukan ruangan perspektifis pada anak dan remaja adalah pola susun yang biasa digunakan dalam lukisan tradisional. Objek disusun berderet ke arah bidang atas. Objek yang jauh ditempatkan lebih di atas.
Yang perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi anak-anak ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung kembar". Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak objek (tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek, bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek selalu menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya. Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan rasio. Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja. Selain itu hal yang dapat membebani anak-anak yaitu didapatkan dari pertanyaan-pertanyaan gurunya.


Tegalan yang luas, dalam pola gambar "gunung kembar", menjadi beban tersendiri bagi anak-anak
yang telah 'dikuasai' pertimbangan rasionya


Bagian lahan berair menjadi pilihan yang dianggap 'aman' untuk mengisi ruang gambar yang luas, di samping tegalan yang tak rimbun


Gambar jalan dalam pola gambar "gunung kembar" seolah menjadi objek 'wajib'. Anak-anak tertentu menggarap penggambaran gunung menjadi lebih beragam dari pola dasar yang telah mereka dapatkan


Pola gambar perspektif burung, penggambar berada di posisi atas, menyebabkan lahan gambar yang
semakin luas, semakin berat beban keharusan dalam mengisi lahan luas tersebut

Objek yang dekat dengan penggambar telah direkam secara benar (menurut rasio), sementara objek lainnya
masih diposisikan sesuai dengan imajinasi penggambar


Petak-petak sawah dan vas bunga menjadi sangat penting dalam gambar ini, sehingga ukurannya (secara rasio) lebih besar daripada objek lainnya, objek rumah misalnya


Kesadaran perspektif mulai tampak lebih dominan dalam gambar ini. Objek-objek mulai ditempatkan
'sesuai dengan posisinya'. Tetapi, beban tegalan masih menjadi beban yang jug dominan

Meniru lingkungan, paling tidak meniru gambar hasil karya orang dewasa, telah mengubah
bebarapa bagian gambar yang dibuat oleh anak-anak

Pola perebahan objek gambar mengikuti arah bidang gambar, misalnya jalan, di sini kentara sekali, terutama
dalam penggambaran kendaraan dan sebagian pohon yang ada di pinggir jalan. Imajinasi penggambar,
dalam gambar ini, sangat dominan dibanding rasionya
Semua gambar direproduksi menggunakan kamera HP Sony Ericsson K850i
2.      Kembali Kegambar Gunung Kembar
Seorang mahasiswa undiksha bidang seni rupa yang telah melaksanakan observasi disalah satu TK di Bali. Pada kegiatan ekstra menggambar, Budiaprillia nama mahasiswa peneliti ini, menemukan bahwa anak-anak PAUD ketika diajak menggambar kerap mengajukan pertanyaan seperti anak tidak bisa menggambar atau semacamnya. Masalah itu dianggap sangatlah menganggu. dia ingin mencoba mengubah pola ajar tadi dengan pola ajar lain yang diperkirakan bisa lebih efektif memberi pangalaman yang nyaman bagi anak-anak. Dia menemukan pola copy the master yang di dalam sejumlah sumber bacaan telah lama digunakan di dunia kesenirupaan Timur. Sebaliknya, dalam teori mengajar menggambar versi Barat pernah disebutkan bahwa kegiatan meniru adalah pembiasaan buruk yang tidak mendukung ajaran kreativitas bagi siswa. Intinya, teori pembelajaran seni rupa Barat dimotori dengan segala langkah kebebasan berekspresi, ajaran persuasif, hingga “pengharaman” kegiatan meniru. Dan, teori Barat itulah yang kerap dijejalkan oleh dosen mata kuliah teori pendidikan seni rupa kepadanya. Sementara itu, metode copy the master sudah biasa juga diterapkan dalam pembelajaran bahasa, lebih khusus dalam penulisan puisi.
Di lingkungan masyarakat seniman Bali, apapun jenis kegiatannya, bisa melukis, mematung, membuat karya kriya, peniruan demi peniruan terus dilakukan. Pola tersebut telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Bahkan dalam sistem cantrik yang dibangun di sanggar-sanggar, pola copy the master, seperti yang juga terjadi dalam dunia kesenirupaan Cina, telah banyak melahirkan seniman-seniman dengan ciri jatidiri yang baru. Mungkin, ciri masternya masih kental dalam karya para murid. Tetapi, lambat laun jatidiri seniman sebagai pribadi yang berbeda dengan pribadi lainnya, tetap bisa muncul sebagai hasil pencarian yang berkelanjutan.
Di lingkungan seni musik tari, dan teater, begitu banyak seniman musik, tari, dan teater yang dibesarkan karena memainkan karya orang lain, bukan karya sendiri. Semua itu seakan tak ada masalah. Tetapi dalam dunia seni rupa yang umum, dipengaruhi pikiran ego Barat, murni-terap, seniman-perajin, pekota-pedesa (istilah Prof. Sudjoko), tetap dimunculkan sebagai gambaran pemilahan dua kubu masyarakat: akademis dengan nonakademis. Bahkan kolaborasi yang mengaku seniman dan yang dituding nonseniman (biasanya disebut perajin atau pengrajin saja) telah berlaku juga, tetapi tidak pernah diekspos. Manusia adalah mahluk yang dibesarkan dan didewasakan melalui kegiatan aneka peniruan. Bahkan, dalam kehidupan awal manusia yang sangat bergantung kepada keberadaan manusia dewasa lain, manusia sepenuhnya dibiasakan dalam peniruan-peniruan.
            Dalam kegiatan penelitian Budiaprilliana, pembelajaran seni rupa pola dikte dibandingkan dengan pola copy the master. Kegiatan tersebut diulang masing-masing dalam 8 kali pertemuan pembelajaran. Materi ajar disesuaikan dengan materi resmi sekolah yang telah diatur secara kurikulum. Kelompok kontrol tetap mengikuti pola pembelajaran dikte, sementara itu kelompok eksperimen dikondisikan dengan pembelaran pola copy the master. Yang disebut gambar master adalah gambar yang telah jadi yang dibuat oleh peneliti, yang dijadikan pemancing kreativitas siswa. Gambar dengan pola dikte adalah gambar yang dibuat oleh peneliti di papan tulis secara bertahap untuk diikuti langkah demi langkah oleh siswa.
Proses kegiatan pembelajaran dah hasil gambar dicatat sebagai bahan analisis bandingan. Analisis yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis situasi pembelajaran berupa catatan perilaku siswa selama pembelajaran dan analisis kondisi visual gambar. Kondisi pembelajaran dengan pola copy the master, pada pertemuan kesatu dan kedua belum menampakkan perbedaan situasi yang mencolok bila dibandingkan dengan situasi pembelajaran pola dikte. Tetapi pada pertemuan pembelajaran lanjutan, suasana kelas copy the master lebih hidup dan ramai dengan obrolan tentang materi gambar maupun ekspresi siswa. Gambar hasil peniruan pun mulai banyak berubah, lebih kaya dengan tambahan objek gambar sesuai dengan ekspresi siswa masing-masing. Berbeda dengan siswa kelompok kontrol, mereka tampak lebih “tertib, diam, dan sunyi” ketika menyelesaikan karya. Hasil gambar pun tampak kurang variatif, terutama dalam hal bentuk yang digambar.
Pada pertemuan ke-8, peneliti melaksanakan perlakuan yang berbeda kepada kedua kelompok, yaitu memberi kesempatan siswa untuk menggambar tanpa tema dan tanpa contoh. Hasilnya di luar perkiraan peneliti. Gambar karya siswa PAUD yang menjadi sasaran penelitian, kembali ke gambar “konvensional” anak-anak Indonesia: gambar pemandangan dengan dua gunung kembar sebagai latar belakang!
Siswa pada kelompok kontrol (14 orang), 80% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar dan matahari sepertiga berisi berkas sinar yang mengintip di antara dua gunung. Sisanya menggambar tema lain yang berbeda. Kelompok eksperimen (17 orang), 50% di antaranya menggambar pemandangan dengan latar gunung kembar, sisanya menggambar tema-tema lain yang beragam. Kenyataan ini membuktikan bahwa gambar pemandangan yang dilengkapi dengan gunung kembar sangat melekat sebagai ciri gambar yang biasa dibuat oleh anak-anak Bali. Bahkan bisa dibuktikan melalui pengumpulan gambar karya anak-anak Indonesia lainnya.
Gambar pola gunung kembar memang arketif gambar anak-anak Indonesia. Anak-anak berkebutuhan khusus dengan spesifikasi retardasi mental pun menggambar menggunakan pola yang sama dengan kebanyakan anak-anak normal. Berulangkali surfing mencari gambar anak-anak di luar Indonesia, hingga kini belum menemukan gambar dengan pola pemandangan dengan latar gunung kembar. Hal ini semakin jelas mengindikasikan bahwa gambar pola gunung kembar adalah ciri khas gambar anak-anak Indonesia. 

Sumber :


Sunarya.2009.” Fenomena Gambar Gunung Kembar”. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.com/search?q=fenomena+gambar+gunung+kembar. Di akses 10 Juni 2017.

Sunarya. 2010. " Beban Dalam Pola Gunung Kembar. Dalam         http://rupasenirupa.blogspot.com/search?q=beban+dalam+pola+gunung+kembar. Di akses 10 Juni 2017.

Sunarya. 2015. “Kembali ke Gambar Gunung Kembar”. Dalam http://rupasenirupa.blogspot.com/2015/08/kembali-ke-gambar-gunungkembar.html. Di akses 10 Juni 2017.




1 komentar: